Perjalananku hampir sampai di Kabupaten Blora. Aku bersama rekan-rekan mahasiswa jurusan teknik industri STT Pomosda, Tanjunganom, Nganjuk hendak berkunjung ke PT. Kelorina Indonesia.
Setelah 5 jam perjalanan, waktu sedang menunjukkan pukul
4 pagi. Bis pariwisata yang kami tumpangi singgah di masjid Agung Baitunnur
yang berhadapan langsung dengan alun-alun kota Blora. Kami pun rehat sejenak
untuk Isoma.
Udara segar kuhirup dengan mesra, ternyata hawa sejuk
Blora masih terasa segar. Mungkin kota ini belum terjarah polusi kota
metropolitan, gumam saya dalam hati.
Tak lama setelah itu kami melanjutkan perjalanan lagi
menuju ke Puri. Sepanjang perjalanan saya terheran-heran. Benar dugaan saya,
disini masih asri. Pohon jati tumbuh dengan lebatnya. Apalagi saat memasuki
jalan makadam, disana terbentang luas perkebunan tebu, dan kacang tanah. Wajah para petani
yang bekerja pun tampak sumringah.
Saat memasuki halaman Puri, penat dan lelah sudah
terbayar. Saya melihat tanaman beraneka jenis yang ditanam di media polybag dan
vertikultur, sepertinya di sebelah utara ada rumah hijaunya juga. Ternyata Puri
adalah akronim dari Pangan untuk Negeri, Puri dijadikan nama sebuah vila yang dibangun
oleh Bapak Dudi Krisnadi. Beliau merupakan pemilik dan pendiri PT. Moringa Indonesia.
Tak disangka, senyum simpul beliau sudah menyambut kami dari depan beranda. “Cape ya ngelewati jalan makadam?” Tanya Pak Dudi dengan logat sundanya yang kental, kamipun terkekeh bersama hingga membuat suasana menjadi hangat dan bersahabat.
Bincang-bincang bersama Pak Dudi (kiri) di beranda vila Puri |
Sudah lama beliau melanglang buana. Dengan cita-cita ingin
berkontribusi untuk negeri, kelor adalah senjatanya. Dalam bahasa ilmiah kelor disebut moringa
oleifera yang merupakan jenis tumbuhan dari suku Moringaceae. Di beberapa
wilayah, tumbuhan kelor memiliki istilah yang beragam, misalnya di Sulawesi
menyebutnya kero, wori, kelo, dan keloro. Di Madura disebut maronggih. Aceh
menyebutnya murong, dan masih banyak istilah lainnya.
Pak Dudi sedang menjelaskan budidaya kelor |
Kami diajak berkeliling ke lahannya yang sudah ditanami
kelor. Beliau mulai bercerita, jari telunjuknya menyapu rata lahannya sambil berkata “coba lihat, tiga hektar ini udah ditanami kelor semua. Tapi
lahan disini hanya untuk pembelajaran, lahan yang benar-benar
untuk komersil ada di NTT dan Papua.” Mendengar ceritanya, saya takjub sekaligus tergemap, padahal telapak
dan jemari kaki saya terasa ingin copot, gimana kalau diajak mengelilingi puluhan
hektar lahan kelornya. Bisa pingsan di tengah kebun nih, gurau saya dalam hati.
Menyelisik sejarah kelor, tumbuhan ini dianggap sebagai tanaman
mistis oleh masyarakat Indonesia. Saya
masih tercengang-cengang dari awal masuk lahan perkebunannya. Kok beliau berani
merubah mindset masyarakat hanya dengan produknya yang tanpa tambahan bahan
kimia. Padahal merubah mindset bukan perkara mudah, sebab ini soal keyakinan. Tidak
bisa dipungkiri, saat ini banyak yang berhasil membuktikan kebenarannya. Semakin
hari masyarakat Indonesia teredukasi untuk mau hidup sehat, bahkan banyak yang
mulai mengonsumsi kelor sebagai kebutuhan sehari-hari.
Mulanya Pak Dudi membuat produk dari kelor hanya saat ada
pesanan saja. Niatnya tulus untuk membantu sesama makhluk, bahkan beliau ini
ingin menjadikan Indonesia bebas malnutrisi. Itulah kesan yang paling saya ingat
dari perjalanan hidup Pak Dudi. Beliau tidak berorientasi pada keuntungan dan
materi, akan tetapi sekedar menjalankan perintah dari Gurunya.
Setelah puas kami berkeliling, pukul 11.30 kami kembali
ke vila Puri. Istri Pak Dudi sudah membawa teh kelor yang dihidangkan kepada
kami. Menyeruput teh kelor ditemani bakwan dan berbagai kue yang serba terbuat
dari kelor adalah hal yang belum pernah saya lakukan. Apalagi kami dijamu
dengan sayur dan lauk yang serba dari daun kelor segar.
Wao,,,,, menginspirasiiiiii.
ReplyDeleteTerimakasih Kang Amin.
DeleteAlhamdulilah,,
ReplyDeleteWeeeh... Luaar biasa ternyata tanaman kelor😀
ReplyDelete