Gak ada
sepeserpun uang yang tersisa di dompetku. Berhubung udah terlalu sore, aku
mengurungkan niatku untuk mengambil uang ke ATM. Kebetulan si Halimah, teman
sekamarku, mau keluar ke Warujayeng, akhirnya aku minta tolong dia saja untuk
mengambilkan uangku di ATM. Selang setengah jam, Halimah menelponku. “Halo, ini
paswordnya salah ya ul, kok ngga bisa?” Spontan aku kaget, tapi aku mencoba
untuk tenang. Tak lama setelah itu, aku mendapat kabar lagi bahwa kartu ATM ku
keblokir!
Kuratapi layar
ponsel pintarku, hatiku tergerak untuk mengadu kepada call center Bank
tersebut. Belum sempat terhubung langsung dengan customer cervis-nya, telponku
terputus begitu saja. Ya Tuhan, tenyata telponnya nggak gratis. Pulsakupun
langsung habis.
Dua kejadian itu
membuatku semakin jengkel. Mau mengeluh tapi taktau kesiapa. Akhirnya aku
memutuskan untuk menuliskannya saja di blog ini.
Siapa sih orang
yang takbutuh uang? Aku terus bertanya-tanya dan memandang tajam benda bermata
rupiah yang sedang menari di dalam pikiranku. Bahkan semua orang mendambakanmu!
Tudingku dalam hati. Walau sekarang aku masih mahasiswa, setidaknya aku sudah
mengerti betapa sulit orang tuaku mencari uang. Mereka bekerja seharian demi
anaknya yang sedang meraih cita-cita di negeri seberang.
Aku penasaran
dengan uang. Bagaimana sejarahnya kok bisa ada uang. Padahal dahulu embahku sering bercerita tentang
kehidupannya sebelum Indonesia merdeka. Beliau bercerita, tak ada yang namanya
uang, semua kegiatan jual beli menggunakan sistem barter. Lamunanku semakin dalam,
membayangkan betapa mudahnya jual beli di zaman itu. Andaikan aku punya beras,
lalu barter ke toko emas, pasti menyenangkan! Tak ada patokan nilai, yang
penting suka sama suka. Ahai, sikaat!
Tapi, aku nggak
tau juga sih gimana sistem barter yang sesungguhnya. Kalau dari sejarah yang
pernah aku baca, barang-barang yang dibarter harus memiliki nilai yang tinggi,
biasanya sukar diperoleh, magis, dan mistis. Berarti nggak semua bisa dibarter
dengan barang yang kita ingini. Pun jika ada orang yang ingin membarterkan
barangnya namun barangnya tidak diingini dengan orang lain, jadinya kan repot.
Sebelum zaman
barter, semua orang memenuhi kebutuhannya secara mandiri. Mereka bercocok tanam
sendiri, berburu jika lapar, dan sebagainya. Setelah sekian lama, mereka mulai
merasa kesusahan karena tidak semua kebutuhan dapat mereka penuhi sendiri. Lalu
mereka mencari orang yang mau bertukar barang kebutuhan, saat itulah muncul istilah
barter.
Kemudian muncul
kesulitan lagi. Ternyata banyak orang yang sulit mau bertukaran barang, sebab
barang yang ditukar terkadang tidak sama nilainya atau tidak terlalu dibutuhkan.
Akhirnya dibuatlah barang yang bernilai tinggi sebagai alat tukar. Dahulu bangsa
Romawi menggunakan garam (salt) sebagai alat tukar kegiatan jual beli maupun upah. Hingga saat ini pengaruh Romawi masih membekas sampai sekarang. Orang Inggris menyebut istilah upah adalah salary yang dalam bahasa latin salarium yang berarti garam.
Namun setelah
dipikir-pikir, garam tidak dapat disimpan dalam jangka waktu yang lama. Akhirnya
mereka memilih logam sebagai alat tukarnya. Sebagai pertimbangannya adalah
logam memiliki nilai tinggi dan tahan
lama, yaitu emas dan perak.
Emas dan perak yang
digunakan untuk kegiatan jual beli dalam skala besar terlalu banyak. Kemudian
muncul kendala pada penyimpanannya. Bila tidak disimpan dengan baik, beresiko
dicuri. Akhirnya ada seorang yang memiliki ide untuk membuat jasa penyimpanan
logam. Selanjutnya muncullah kertas sebagai bukti kepemilikan logam. Sejak saat
itulah kertas bukti kepemilikan logam menjadi awal mula uang kertas yang ada di zaman
modern ini.
Setelah ditilik
sejarah uang, ternyata cukup panjang untuk diceritakan. Saya mencoba untuk
menarik konklusi, bahwa manusia sesungguhnya butuh bertahan hidup. Mencukupi kebutuhan
sendiri dengan cara mandiri sejatinya adalah keharusan. Uang bukanlah
segalanya. Tapi segala kebutuhan primer, sekunder, maupun tersier dapat dibeli
dengan uang. Hal yang terpenting adalah kita harus terus berusaha memaksimalkan
potensi yang telah Tuhan berikan, kalau kata Bapak Kiai Tanjung istilahnya
adalah profesional. Di dunia ini kita harus dapat bertahan hidup dan syukur
bila dapat membantu orang lain yang kesusahan (bermaslahah).
Saya langsung teringat
lakon dan pitukon yang sering ditekankan oleh Guru saya. Beliau menjelaskan
bahwa manusia hidup butuh lakon atau bekerja. Bekerjalah secara profesional. Begitu kurang lebih yang saya tangkap dari
petunjuk beliau. Ringkasnya supaya dapat berpitukon berarti harus melalui lakon
yang baik dan benar, namun kembali lagi kita bicara profesional.
Dari cerita ini saya baru mengerti niat apa
yang harus saya tetapkan di dalam hati. Jika uang adalah yang saya tetapkan di
hati dan saya jadikan sebagai orientasi, berarti saya hanya ingin mengejar
duniawi. Sebaliknya, bila saya niatkan belajar dan bekerja untuk menjalankan
perintah Guru saya (memenuhi lakon dan pitukon), semoga mendapatkan berberan
berkah, shawab, dan pangestu Guru Wasithah. Amin.
No comments:
Post a Comment