Baca ini jika merasa pernah membuang sampah

Saya bertolak dari Sidoarjo. Mobil yang saya tumpangi melaju dengan cepat hingga masuk area Surabaya, konon Surabaya adalah kota metropolitan terbesar di Indonesia. Kami pun melaju rata-rata hanya 50 km/jam untuk menuju Perpustakaan BI. Tak dinyana, saya sudah terlambat 30 menit acara seminar peduli sampah bersama komunitas sahabat bumi. Mbak Wulan, selaku ketua panita menyambut kami dengan ramah.

Awalnya saya kurang mengerti apa yang disampaikan oleh Pak Philip selaku narasumber. Beliau adalah ahli mikrobakteri lulusan salah satu perguruan tinggi terkemuka di Surabaya. Ia berkobar-kobar saat menyampaikan bahaya sampah yang kita produksi sehari-hari. Tiba-tiba saya teringat kembali saat kuliah di jurusan teknik industri bahwa tugas saya adalah memproduksi suatu barang. Namun tidak saya pikirkan bagaimana mengolah produk saya nanti jika sudah menjadi sampah. Hati saya mulai tergelitik, Pak Philip masih saja bercerita tentang dahsyatnya akibat sampah yang tidak dikelola dengan baik.

Bagi sebagian daerah, budaya membuang sampah sembarangan dianggap hal yang wajar. Namun ada juga yang menganggap itu melanggar moral.

Bagi saya, berjumpa dengan Pak Philip adalah suatu momentum yang berharga. Pasalnya selain mengupas tuntas bahaya sampah, beliau memberikan terobosan baru untuk mensolusikan masalah sampah.
Pak Philip sedang membawa wadah Felita dan menjelaskan cara pemakaiannya
Fakta saat ini tidak ada orang yang mau bertanggung jawab atas perbuatan membuang sampah. Begitu ucap Pak Philip. Hati saya berdebar, jangan-jangan saya juga termasuk orang yang tidak bertanggungjawab itu.

Siapa sih yang merasa dirinya bukan pemroduksi sampah? Pertanyaan Pak Philip membuka rasional saya. Semua orang adalah produsen sampah. Lalu kemana sampah itu pergi setelah ngangkrak di TPA alias tempat penimbunan sampah, ujar Pak Philip kembali. Pertanyaan ini benar-benar mengajak saya untuk berpikir. “Iya juga ya, setelah di TPA sampahnya diapakan?” Bisik saya dalam hati. Apalagi saat ini pemerintah melarang keras pembakaran sampah, karena dapat menyebabkan lapisan ozon menipis.

Ternyata tak hanya itu, ada akibat yang lebih fatal lagi akibat pembakaran sampah. Mungkin kita asing dengan kata “dioksin”. Saya baru mengerti bahwa sampah organik dan anorganik seharusnya dipisahkan. Hal ini supaya memudahkan pengolahannya. Dioksin adalah bahan beracun yang dihasilkan dari pembakaran sampah. Jika dioksin di alam kadarnya masih sedikit, mungkin masih bisa ditolerir. Namun bagaimana jika udara kita dipenuhi dengan dioksin? Akibatnya bisa mengganggu kesehatan, menyebabkan mutasi gen. Sehingga saat ini banyak bayi yang lahir cacat, transgender, dan sebagainya. Itulah yang terjadi saat ini, tanpa pernah kita sadari dan kita pikirkan.

Beberapa situs pun menerangkan bahwa jika ibarat sebuah negara, limbah makanan menjadi penghasil gas rumah kaca terbesar di dunia, setelah tiongkok dan AS. Jika terus berlanjut, bagaimana keseimbangan alam di masa yang akan datang? Masihkah alam memberikan daya dukung terhadap manusia di bumi? Ucap saya setengah berbisik?

Maka dari itu, sebagai makhluk yang diberi akal pikiran oleh tuhan. Sudah sepatutnya kita berpikir bersaa mencari solusinya. Dengan mengedukasi diri, berkepedulian lingkungan seperti komunitas sahabat bumi, maka kita akan memakmurkan bumi Tuhan. Menjaga dan merawat kelestariannya.

Dari seminar itu, Pak Philip menawarkan solusi Felita (fermentasi limbah rumah tangga). Sekilas nama Felita seperti nama seorang perempuan yang anggun. Gurau pak Philip. Namun perlu kita ketahui, bahwa Felita merupakan terobosan baru mengatasi limbah makanan yang dihasilkan oleh rumah tangga.

Jika setiap rumah tangga memiliki kesadaran dan pengetahuan bahwa makanan yang telah basi dan dibuang dapat menghasilkan gas dan apabila dibakar menghasilkan dioksin, pasti akan menerapkan felita atau mengolah makanan itu menjadi kompos tanaman. Mulai sekarang, yuk kita bangkitkan kesadaran demi menjaga keseimbangan alam.

No comments:

Post a Comment