Dahsyatnya Kebiasaan

Foto: Dokumen pribadi


Waduh, kalo disuruh membaca buku saya nyerah deh
Wah, saya tu orangnya paling nggak bisa makan teratur. 
Lari pagi? Haha, nanti dulu deh. Mana sempet...

Sekelumit percakapan di atas adalah kata-kata saya sendiri pada 3 tahun yang lalu. Saat dimana saya kelebihan berat badan, 70 kg. Dan di saat itu pula saya sering sakit magh (asam lambung tinggi).

Kala itu saya optimis banget, bahwa kata-kata saya tersebut benar adanya. Ya memang seperti itulah saya, nggak suka olahraga, baca, apalagi makan yang teratur. Yang ada makan rakus...hahahaaa (plak, tepuk jidat)

Sebuah keyakinan yang didasarkan pada kebiasaan acap kali membuat pikiran kita sempit. Tidak ada sesuatu yang ingin dicapai bila kita mengklaim diri "Saya tidak bisa" i give up! Damn! 

Ternyata saya baru menemukan sebuah metode setelah mempraktikkannya. Alias praktis dulu tanpa tahu teorinya (walau sebetulnya penuh risiko). Bermula saat saya mengenal pola kebiasaan yang dibentuk pada ganglia Basal otak.

Heeii mbaak, apa tuhh ganglia Basal? Kok baru denger...

Dalam buku Habitnya Charles Duhigg, Ganglia Basal itu merupakan pusat bagi pengingatan. Dia menyimpan kebiasaan meskipun sebagian otak kita yang lain sedang tertidur. Di dekat dengan pusat tengkorak, ada benjolan jaringan seukuran bola golf. Jadi, ganglia Basal itu otak yang berfungsi menyimpan kebiasaan kita.

Kabar baiknya, kita bisa menciptakan kebiasaan baru kapanpun kita mau. Mau kebiasaan baik atau kebiasaan buruk, otak tidak bisa membedakan. Kalo sudah di dalam ganglia Basal, ya jadilah kebiasaan. Terulang-ulang sampai kita tidak sadar bahwa malas lari pagi seolah sebuah kutukan yang mustahil dirubah.

Pucuk dicinta ulam pun tiba, beberapa hari lalu saya membaca sebuah postingan di Facebook, akun milik teman saya, mbak Wulansari. Ibu empat anak. Founder Komunitas KSB (Keluarga Sahabat Bumi). 

Dengan senang hati, ia berbagi cerita tentang parenting yang diterapkan pada putra putrinya. Dalam ulasannya yang berjudul "Berhenti Menasehati", Mbak Wulan ingin anak-anaknya tumbuh kesadaran belajar tanpa paksaan dari siapapun. Mereka diajak membuat komitmen dengan dirinya sendiri. Bundanya hanya membantu merumuskan perencanaan dan target mereka.

Ditulis dalam kertas masing-masing lalu ditempel di pinboard meja kerja bundanya. "Kita akan lihat lagi tahun depan ya nak." Ungkapnya...

Bagi saya itu adalah metode luar biasa yang hendak ditanamkan pada anak-anaknya, yaitu sebuah kebiasaan belajar tanpa paksaan. Karena si anak telah menulis level berapa prestasi belajar yang ingin mereka capai diantara level 1-10? Lalu bagaimana cara mencapainya? Jam belajar terbaik yang mereka pilih jam berapa? Dan seterusnya...

Dari situ saya jadi terinspirasi untuk menerapkannya pada adik-adik saya di Pomosda (Pondok Modern Sumber Daya At-Taqwa). Sekaligus saya juga turut membuat planing.

Pada pertemuan pertama, saya ajak mereka membuat capaian-capaiannya dalam waktu 1 minggu. Ada yang menuliskan 5 capaian, 3 capaian, dan bahkan 1 capaian saja. Tapi tidak masalah, mereka disini punya komitmen untuk mencapai apa yang mereka ingin capai.

Kumpul keluarga di Pomosda
Si Aisyah yang kelas 3 SMA ingin joging setiap pagi selama 10 menit.
Si kharisma kelas 1 SMA ingin di kelas lebih aktif dan sering bertanya pada guru.
Si Iza kelas 2 SMA ingin bangun pukul 4 pagi setiap hari.
Si Putri kelas 3 ingin baca setengah bagian buku "Self Driving" karya Pak Rhenald Kasali.
Dan beberapa diantara yang lainnya menulis capaian-capaianya masing-masing.

Sempat ragu, bisakah mereka komitmen dengan diri sendiri selama seminggu. Karena Minggu depannya kami bersama-sama evaluasi.

Seminggu kemudian, pada kumpulan keluarga - istilah terdiri dari ibu (salah satu ustadzah), kakak sulung (kakak pengabdian), dan adik (santri) yang membentuk layaknya sebuah keluarga- mereka bercerita pengalamannya mencapai planingnya masing-masing.

Ada yang tercapai dan ada yang belum tercapai. Bagi saya tidak mengapa, mereka jadi tahu bagaimana perasaannya senang bisa menaklukkan tantangannya sendiri hingga tercapai. Sedang yang belum bisa mewujudkan akan menjadi sebuah evaluasi pada diri sendiri.

Dengan adanya kumpulan keluarga itu akhirnya kami saling memberi solusi pada teman-teman yang terkendala mencapai capaiannya. Suatu hal yang mengasyikkan bila keluarga itu saling mendukung satu sama lain. Dan kebiasaan itu yang tengah kami bangun.

Benar terasa berat dan mustahil di awal, tapi diam-diam otak kita merekam dan menjadikan capaian itu perlahan menjadi niscaya terwujud. Apalagi rencana capaian itu berangkat dari keinginan kita sendiri, bukan paksaan dari orang lain. 

Seseorang pernah berkata kepada saya, bila sesuatu yang kita kerjakan itu muncul dari keinginan kita sendiri atau tulus untuk membantu orang lain, maka otot kekuatan tekad tidak mudah lelah. Begitupun sebaliknya, bila mengerjakan sesuatu karena paksaan, perintah yang tidak jelas tujuannya, maka otot kekuatan tekad akan mudah lelah. Yang terjadi adalah mudah mengeluh, penat, dan putus asa.

Teori ini pun semakin menguatkan saya dalam memahami Dhawuh Guru saya Bapak Kiai Tanjung, bahwa kita terlahir dengan potensi kecerdasan yang sama. Saya berpikir, bila kecerdasaan bisa dilatih dengan kebiasaan, berarti benar, kita semua berpotensi cerdas. Cerdas mendalami pengetahuan, cerdas memilih kebiasaan hidup yang sehat, dan bahkan mungkin juga kecerdasan spiritual.

Jadi, sudah membuat capaian-capaian dalam waktu dekat ini belum?





Nantikan tulisan selanjutnya yang akan update setiap senin.

No comments:

Post a Comment