Dua jam yang lalu, dia sudah di sini. Melahap kalimat demi kalimat yang baginya nikmat, buku filsafat yang membuatnya terjaga hingga pukul satu seperempat. Lalu dia membuka jendela kamar yang ada di depan meja belajarnya. Menengok pemandangan jalan yang mulai sepi di depan asrama.
Sejenak terbayang kampung halaman, masa kecil yang bahagia bermain bersama Supri, Sabri, Era, dan Ateng. Keluarga tercinta rela ia tinggalkan, apalagi kalau bukan demi pendidikan! Ikrarnya.
Pukul 6
pagi, ribuan kendaraan sudah penuh melintas Jalan Raya Lenteng Agung, Jakarta
Selatan. Auliya sudah rapi dan siap untuk bergegas ke kampus UNAS yang ia
tempuh dengan KRL. “Duh, hari ini ada presentasi rekayasa tanaman, laptop gue malah
ketinggalan.” Keluh kesahnya dalam hati. Untungnya ia sudah mengirim soft file
presentasi ke email Bu Laila, dosen rekayasa tanamannya.
Emang
ribet hidup yang ia pilih, di Ibu Kota Jakarta tanpa disanding sanak saudara.
Berbekal nasihat dari embah-nya, “sing ngati-ngati, cah sak usiamu kui
rawan-rawane.” Deg, hatinya bergetar lagi. Nasihat terakhir sang embah tak
pudar di dalam hati.
Satu semester
telah ia lalui. Namun baginya Jakarta bukanlah hal yang excited lagi. Rindu,
rindu sekali dengan suasana desa rumahnya. Penduduknya ramah menjunjung tinggi adat dan budaya. “Disana ku dilahirkan, oh negeriku, negeri
Bengkalis.” Sebait lirik lagu daerah Riau yang dinyanyikannya dengan lirih.
Sepertinya
ia ingin sekali menemukan jati dirinya sendiri. Namun bagaimana caranya. Dia
terus mencari, dibukanya berbagai situs melalui google. Belum ada satu pun yang
dapat menyentuh kalbunya.
Resign
Beberapa
hari yang lalu dia sempat cekcok dengan orang tuanya. Jelas saja, orang tuanya marah
karena dia ingin resign dari kampusnya. Dilema menerpa batinnya. Mungkin
ia merasakan apa yang tidak anak muda pada umumnya rasakan. Dia jenuh dan bosan
dengan keadaan yang ada. Begitu-gitu saja. “Ini saat yang tepat aku mencari
kehidupanku sendiri, tanpa intervensi dari orangtua.” Dia yakin sekali, pasti
dia akan menemukan makna kehidupan dari penjelasan seseorang yang hak dan sah
menjelaskan. Imam Mahdi. Benar, ia mencari sosok Imam Mahdi.
Bila
dipikir rasional, mana mungkin pemuda se-usianya memikirkan bab keberagamaan.
Tahu apa ia tentang agama, tapi begitu kenyataannya. Bahkan ia terkesan lebih
tua dibandingkan usianya. Begitu kritis dan dewasa.
Hari ini
jadwal kelasnya padat. Pikirannya makin tak menentu, hingga jam terakhir ia pun
meluapkan kegundahannya di kereta tercepat di Jakarta. Isak tangis tumpah dari
bendungannya. Keesokan harinya, ia mengunjungi berbagai tempat dan orang-orang
yang ia anggap paham dengan agama. Tapi hasilnya nihil.
Tepat pada
hari ke-180, ia mulai menemukan titik terang. Sepertinya sosok yang ia cari di
youtube dengan keyword Kyai Tanjung merupakan bocoran jawaban dari Tuhan.
Siapa sih
Tuhan? Mengapa kita dilahirkan? Emang ngapain kita di dunia? Kemana setelah
mati?
Ia tulis
pertanyaan itu di papan notes meja belajarnya. Natania, seorang kristiani yang
juga teman sekamarnya membaca tulisan itu. “Apaan sih ini ul, lu mau nyari
Tuhan?” Auliya hanya tersenyum tanpa kata sepatah pun. Seolah ia sedang
menemukan titik rahasia keberadaan harta karun. Yang dia rasakan adalah lebih
dari itu, ia bahkan merasa akan bertemu langsung dengan Tuhan.
Ia mengikuti
pengajian Bapak Kyai Tanjung setiap minggu melalui Youtube. Beragama itu
totalitas. Bila aktivitas beragama sehari-hari adalah sholat, mengaji, zakat, dan
sebagainya dihitung ibadah, maka pekerjaan berdunia seperti belajar, bekerja, bertani,
dan sebagainya disatukan oleh beliau sebagai ibadah. Tidak dipisahkan antara
berdunia dan beragama. Semua dapat bernilai ibadah.
Dari penjelasan
Bapak Kyai Tanjung tersebut, ia mulai berpikir. Lalu, bagaimana cara mengetahui
kalau yang ia lakukan ini sudah dinilai ibadah oleh Tuhan? Jika ini ada
ilmunya, dengan siapa ia harus berguru?
Hari sudah
larut malam, suasana asrama berubah hening. Hanya ia yang masih terjaga. Jam berdenting
mesra, mengantarkan lamunannya akan kerinduan pada keabadian.
Jiwa ini
haus, tandus bersama kemarau. Benarkah sosok di youtube itu benar-benar dapat
menjelaskan padaku, siapa Tuhan, dimana ia, mengapa ia tidak mengejawantah di
dunia?
Aku ingin bertemu Nabi Muhammad, bertanya langsung akan hal ini. Tapi mustahil
untuk membangunkan beliau dari kuburnya. Ah, aku bingung dengan dunia ini,
penuh ketidakjelasan. Tapi aku yakin, jika ingin masuk ke surga, harus bertemu
dan menyaksikan dulu dengan yang memiliki surga. Ibarat bertamu, tentu sebelum
masuk kerumahnya kita harus bertemu dulu dengan tuan rumahnya. Berarti sekarang adalah saat yang tepat mencari
seseorang yang benar-benar mengetahui di mana letak surga.
Rasionalnya
mulai bermain, terserah apa kata orang. Kata Bapak Kyai Tanjung beragama itu
menggunakan akal, buat apa Tuhan menciptakan kepala kalau tidak untuk berpikir dan berasional. Lagi pula beragama itu bukan kultus, bukan budaya dari nenek moyang. Bukan
katanya ini katanya itu.
Ia
merasa tidak mampu memikirkan hal yang berat seperti ini. Sekarang, atau tidak
selamanya! Ia bertolak dari Jakarta ke Jawa timur. Mencari Bapak Kyai Tanjung. Ia resign dari kampusnya, dan mencari perguruan tinggi yang ia pilih sendiri, bukan
pilihan keluarganya.
Menggigil,
sekaligus takjub. Begitu tenang dan damai. Suasana hati ini baru pertama kali
ia rasakan. Lalu ia bersimpuh di hadapan Bapak Kyai Tanjung. Inilah sosok yang
ia cari, bukan ditunggu. Seraya memohon petunjuk atas kegelisahannya.
Banyak orang yang hanya menunggu kedatangan Imam Mahdi. Tapi kisah ini ... sungguh luar biasa.
ReplyDeleteTidak banyak yang berani keluar dari zona nyaman untuk "mencari" sosok Imam yang sesungguhnya
Pembawaan kisah ini--dengan sudut pandang orang ketiganya-- menurutku masih kaku, meskipun sudah mengalir....
Oke, aku belajar lagi rid. Makasih ya udah mampir di blogku
Delete